by

Pelaut Juga Manusia

Pelaut Juga Manusia
Punya rasa dan punya hati juga punya cerita hidup yang dapat menjadi inspirasi.
Berikut ini cerita mimin saat pertama Kali menjadi Officer Engineer Dikapal setelah sebelumnya Hanya cadet.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Suara itu terdengar kembali namun kali ini dengan bahasa yang ku kenal dan tak asing di telinga dengan intonasi yang gemulai seakan membawaku terbang keawan atau tertidur lelap di pangkuan ibuku semasa aku kecil..
“ Selamat datang di Bandara International Sukarno-Hatta” suara itupun berulang-ulang, setelah kami keluar dari puntu pesawat dan mulai menyusuri megahnya bandara Cengkareng milik bangsaku sendiri yang tak kalah dengan bandara-bandara di luar negri, namanya juga bandara internasional pantas jika pemerintah membangunya dengan megah dan biaya yang tak sedikit, berbeda dengan bandara yang dibangun untuk penerbangan domestik seperti bandara Cibeureum di Tasikmalaya misalnya yang entah sampai kapan pembangunanya bisa kelar hingga aku bisa menikmati perjalanan singkat dari Jakarata menuju Tasikmalaya atau sebaliknya. Berbeda dengan saat ini perjalanan Tasikmalaya menuju Jakarta harus di tempuh dengan waktu lima sampai enam jam lewat jalan darat itupun kalau tol Cipularang tidak macet. Lima atau enam jam adalah waktu yang lama untuk orang seperti ku yang menganggap detik adalah berkumpul dengan keluarga, karena pekerjaanku sebagai pelaut mengharuskanku selalu jauh dari rumah dalam waktu yang lama.
Setahun sudah lamanya aku berlayar tepatnya dua belas bulan dua puluh delapan hari, selama itupula aku tak bersua dengan Ibuku tercinta, Ayahku yang sangat menyayangiku dan kakakku satu-satunya serta adik angkatku yang tiga hari kebelakang aku dapat kabar kalau kakak kembaranya meninggal karena sakit. Oya satu lagi yang paling aku sayangi keponakanku yang lucu dengan tingkah yang menggemaskan, mungkin dia sekarang lagi menunggu ku membawakan mobil mainan yang ia pesankan pada saat aku akan berangkat berlayar.
Setelah sekian lama menyusuri pintu keluar bandara tanpa sedikitpun kami berbicara atau berbincang bincang, Martoyo pun berbisik padaku” Sebentar ya saya ketoilet dulu”
“ Iya pak de saya juga mau kencing dulu” timpal Salmon seraya memberikan tas ranselnya padaku kemudin berlari mendahului Martoyo yang berjalan agak jingjit karena kaki sebelah kananya mengalami cedra ketika bekerja di kapal. Sesaat akupun teringat Ayahku yang berjalan sama seperti Martoyo. Ayahku mengalami patah tulang pada paha kanan karena kecelakaan lalu lintas, saat itu aku masih duduk di bangku kelas tiga Sekolah menengah. Beruntung waktu itu ayahku cepat di bawa kerumah sakit terkenal di Bandung sehingga sekarang bisa berjalan normal meskipun sedikit jinjit seperti Martoyo.
Aku pun menghentikan langkahku di depan pintu toilet sambil meminggirkan tas ransel Salmon yang berat. Tak lama mereka keluar dan gantian aku yang masuk toilet meskipun hanya untuk cuci muka saja karena di pesawat tadi aku sudah berulangkali buang air kecil. Setelah aku keluar dari toilet kamipun melanjutkan perjalan menuju pemeriksaan Imigrasi dan pengambilan bagasi.
“Pak, di cek dulu kartu kedatangannya ada nggak?, kalo nggak ada nanti di denda dan harus bikin dulu” kataku sambil menunjukan kartu yang ku maksud, Aku memanggil Martoyo dengan Bapak karena umurnya memang seumur dengan ayahku dan ia adalah Second Officer di kapal, sedangkan Salmon ku panggil Abang, ia adalah Fisrt Engineer dan umurnya sekitar tiga puluh tahunan. Saat itu kami bertiga: aku, Salmon, dan Martoyo sign off dari kapal yang sama yaitu MV.Sanwa Fontaine berbendera Panama,dan kebetulan kita dari agen yang sama sehingga kita berencana singgah bareng ke kantor sebelum pulang kerumah masing-masing. Salmon berasal dari Manado tetapi tinggal di Makasar bersama Istrinya yang Muslimah sedang ia sediri beragama Kristen mereka telah dikarunia dua orang putri yang lucu-lucu, aku tahu dari beberapa foto di Laptopnya. Salmon adalah lulusan PIP Makasar, berbeda dengan Martoyo yang memiliki duo orang putra dan satu putri yang Sedang kuliah semester tiga di Semarang. Ia bersama istri dan purtrinya tinggal di Semarang sedangkan dua putranya di Tanggerang Banten. BPLP Semarang adalah almamaternya sedangkan aku sendiri lulus tahun 2006 dari AMNI Semarang.
“Saya ada” kata Martoyo sambil mengacungkan kartunya
“Yang mana ya Den?” tanya Salmon padaku dengan wajah khawatir. Akupun menunjukan kartuku dan membantunya mencari di dalam dokomen nya.
“Makanya kartu ke datangan itu simpan aja di dalam Pasport selipkan di pelastik covernya, jadi nggak mungkin hilang dan ntar gampang nyarinya” gumamku sambil membolak balik dokumen Salmon.
“Pasti ada, mungkin di sela-sela buku pelaut atau yang lainnya, nggak mungkin ilang la wong baru dua bulan kok, mas Deny aja yang udah setahun lebih masih ada”. Tambah Martoyo kepada Salmon yang mulai panik.
Salmon memang baru dua bulan ia dikapal karena hanya menggantikan first Engineer orang korea yang sekolah dan kembali lagi kekapal hanya satu trif saja.
Beruntung akhirnya kartu pun ditemukan Salmonpun menarik nafas lega. Kami segera menuju antrian untuk pengecekan Imigrasi.Setelah itu mengambil bagasi dan kembali di periksa di pemeriksaan terakhir yaitu pengecekan barang bawaan. Dengan susah payah ku naikan koperku ke atas roll mirip kompayer di kapal. untuk di masukan kedalam sebuah alat pendeteksi yang canggih sehingga isi di dalam koper bisa terlihat. Saat itu aku membawa dua buah koper dorong yang berukuran besar yang isinya oleh-oleh buat keluarga serta cendramata dan hiasan untuk kenang-kenangan di rumah.
“Indonesia I’m coming” tanpa ada komando kami bertiga berteriak, setelah itu saling berpandangan dan akhirnya tertawa bersama. Saat itu rasa senang tak terhingga setelah kami keluar dari pintu bandara Soekarno-Hatta.
“Aku bebas” teriak Salmon sambil menelentangkan kedua tanganya seperti burung mengepakan sayap hendak terbang tinggi ke awan. Begitu pula dengan Martoyo yang tak mau kalah iapun meneriakan kata yang sama sambil mengacungkan tangan kananya keatas tetapi agak menyamping, sedangkan tangan kiri dilipat didepan dada dan kedua kaki jaraknya dilebarkan dengan gerakan pinggul naik turun meniru gaya tokoh sinchan di film kartun anak ketika meneriakan “Pahlawan Bertopeng”. Kontan aku dan Salmon tertawa melihat tingkah Martoyo yang seperti anak kecil itu. Orang di sekeliling kamipun tak luput ikut tertawa meskipun sambil menutup mulut mereka untuk menahan tawa.
“Udah pak de malu di lihat orang” sahut Salmon memperingati, dan wajahnya mulai memerah karena malu banyak orang yang memperhatikan tingkah kami yang lucu.
“Biarin aja namanya juga orang lagi senang” Jawab Martoyo tak menghiraukan Salmon yang cemberut dan menjauhi Martoyo yang terus bertingkah aneh.
Asap rokokpun dihembuskan dengan kencang seakan ingin kepulannya sampai kerumah membawa berita bahwa ia telah menginjakan kaki di tanah air. Sesekali tersenyum melihat Tingkah Martoyo yang nggak kapok jadi bahan tertawaan orang lewat. Kemudian ia menyenderkan badan di tiang sambil tetap mengisap rokok. Sedangkan aku segera menghampiri agent perjalanan yang paling dekat dengan pintu keluar yang sedari tadi melambaikan tangan kananya sambil tangan kirinya memegang papan bertuliskan TAXI. Perempuan itu tak bosan-bosan melambaikan tangan dari mulai kami keluar pintu sampai tingkah-tingkah lucu Martoyo, perempuan itu berumur sekitar 27 tahunan dengan dandanan mewah terlihat dari bau minyak wanginya yang mahal, pakaian yang seksi warna orange sangat cocok dengan warna kulit tanganya yang putih berbulu tipis. Wajahnyha yang ayu bersebrangan dengan gaya bicaranya yang cepat tanpa titik dan koma. Cantik sekali perempuan itu, selama setahun ini memang aku jarang menemui wanita secantik dia.
“Mari mas, kami siap mengantarkan anda kemanapun, kapanpun dengan nyaman dan aman” ajaknya mempromosikan agent perjalananya.
“dijamin uang kembali jika service kami tidak memuaskan” tambahnya lagi kali ini sambil tersenyum manis dengan bibirnya yang tipis membuat mata enggan berkedip menikmatinya.
“Silakan Mas pilih sendiri mau kendaraan apa” tanyanya membuatku terkaget karena sedang asyik memandang bibirnya.
“Ntar dulu harganya berapa?” jawabku balik bertanya
“Harga sesuai janis kendaraannya, Oya Masnya mau kemana?, langsung ke kampung juga bisa mau ke Brebes, Tegal atau Surabaya?” Tanyanya cepat.
“Memangnya saya ada tampang Jawa gitu” Tanyaku heran dia menebak tujuanku ke daerah Jawa Tengah .
“Maaf saya cuma mendengar percakapan Mas dengan Bapak itu” jawabnya sambil menunjuk Martoyo yang sedang menghampiri Salmon.
“Saya cuma mau ke Tanjung Priok aja, Berapa? Tanyaku lagi
“Mau pake mobil apa?” tanyanya sambil menjelaskan tulisan di sebuah kertas yang di laminating. Mengingat barang bawaan kami yang banyak akupun memilih kendaraan yang agak besar.
“Ini harganya bisa turun dikit nggak?” tanyaku
“Maaf Mas harganya sudah sesuai dengan trayek jadi nggak bisa di ganggu gugat” katanya sambil mengangkat sebelah alisnya membuat aku heran dengan wajahnya yang ayu tetapi sikapnya ganjen juga.
“ Oh jadi sudah keputusan Bu Hakim ya, tapi dah termasuk sopirnya kan?” candaku
“Itu merupakan service kami dan sopir tidak diperkenankan menerima tif kecuali penumpang memaksa” ia membalas candaku
“Nggak.. Padahal kalau sopirnya Mba…?” kataku sambil menyodorkan tangan untuk berkenalan dan iapun tak bisa menolaknya. Namanya Ajeng tinggal di Cempaka Putih.
“Kalau sopirnya saya memangnya kenapa” tanyanya penasaran setelah mengatakan tempat tinggalnya
“Kalau situ yang nyopir, saya bayar dua kali lipat pun nggak apa-apa” candaku sambil mengedipkan mata
“Ah si Mas bisa saja, kalau saya yang nyopir perusahaan rugi besar” katanya. Akupun heran dan terus bertanya dan ia menjawab dengan candaan yang membuatku tertawa. Kami leluasa ngobrol karena pintu keluar sepi sehingga ia tidak harus melambai lambaikan tangan lagi seperti padaku tadi.

Setelah ku bayar sesuai dengan harga yang telah di sampaikan, mobilpun tak lama datang, sang sopir turun dari mobil dan membuka bagasi serta memasukan koper-koper kami. Inova biru muda yang kami tumpangi akhirnya melaju cepat setelah masuk tol menuju Tanjung Priok. Obrolan hangat di dalam mobil membuat waktu seakan tak terasa, kami berencana mencari sebuah penginapan dahulu kemudian makan siang di warung makan sederhana milik pamanku yang sudah ku pesan selama di perjalanan dengan menelpon bahwa aku akan mampir bersama dua orang temanku untuk menikmati pepes ayam tulang lunak dan sambel khas parahiangan. Aku menghubungi pamanku dengan meminjam hand phone milik pak sopir mobil yang kami tunggangi karena simcard yang kami bertiga miliki sudah kedaluarsa, masa aktif dan masa tenggangnya sudah habis. Kepada pamanku aku juga menanyakan penginapan yang murah tapi sehat, dan pamanku menunjukan penginapan yang bersebelahan dengan dengan warung makannya namanya penginapan Saudara persis di sebelah kiri warung makan pamanku hanya terhalang gang kecil saja di sebrang jalan terdapat Perusahaan Air minum PAMJAYA yang berdampingan dengan pasar Sindang.

To be Continue….

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed